Kisah Ibu Penjual Kue Dan Pemilik Toko Yang Baik Hati - RadarIslam.com

Kisah Ibu Penjual Kue Dan Pemilik Toko Yang Baik Hati


Hari ini sesosok wanita tua mengetuk pintu kaca toko.

“Bu…Ibu mau beli kue saya…? Belum laku satupun… Kalau kue saya sudah ada yang laku saya enggak akan berani ketuk kaca toko ibu…” Sapa ibu itu menawarkan dagangannya.
Saya persilakan beliau masuk dan duduk. Segelas air dan beberapa butir kurma saya sajikan untuk beliau. Dari raut wajahnya, tampak ibu itu seperti sangat kelelahan.


“Ibu bawa kue apa?” Tanya saya
“Gemblong, getuk, bintul, gembleng, Bu.” Jawabnya senang, mungkin karena saya terlihat seperti tertarik dengan dagangannya. Saya tersenyum…
“Saya nanti beli kue ibu… Tapi ibu duduk dulu, minum dulu, istirahat dulu, muka ibu sudah pucat.” Dia mengangguk. Berkali-kali ibu itu mengusap mukanya.

“Kepala saya sakit, Bu.. Pusing, tapi harus cari uang. Anak saya sakit, suami saya sakit, di rumah hari ini beras udah gak ada sama sekali. Makanya saya paksain jualan,” katanya sambil memegang keningnya. Tak lama air matanya mulai jatuh. Saya cuma bisa memberinya sehelai tisu sambil terus mendengarkan ceritanya

 
“Sekarang makan makin susah, Bu…. Kemarin aja beras gak kebeli… Apalagi sekarang… Katanya bensin naik.. Apa-apa serba naik.. Saya udah 3 bulan cuma bisa bikin bubur… Kalau masak nasi gak cukup. Hari ini jualan gak laku, nawarin orang katanya gak jajan dulu. Apa apa pada mahal katanya uang belanjanya pada enggak cukup…” Lanjutnya

“Anak ibu sakit apa?” Tanya Saya.
“Gak tau, Bu… Batuknya berdarah…” jawabnya. Saya terpana.

“Ibu, Ibu harus bawa anak Ibu ke puskesmas. Kan ada BPJS…” Kata saya. Dia cuma tertunduk.
“Saya bawa anak saya pakai apa, Bu? Gendong gak kuat.. .Jalannya jauh… Naik ojek gak punya uang…” jawabnya dengan suara lirih. kembali dari sudut mata yang keriput itu terlihat bulir-bulir airmatanya kembali menetes.

 
“Ini Ibu kue bikin sendiri?” Tanya Saya kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan
“Enggak, Bu… Ini untungnya 100-300 perak, bisa dapet Rp4 ribu sampai12 ribu paling banyak.” Jawabnya. Tak tahan menyembunyikan keharuan, Kali ini air mata saya yang mulai mengalir.

“Ibu pulang jam berapa jualan?” tanya saya lagi mencoba terlihat biasa.
“Jam 2.. . Saya gak bisa lama lama, Bu.. Soalnya kalau sudah ada yang laku uangnya buat beli beras dulu… Suami sama anak saya belum makan. Saya gak mau minta-minta, saya gak mau nyusahin orang.” Jawabnya. Hati saya kembali seperti diaduk-aduk.

“Ibu, kue-kue ini tolong ibu bagi-bagi di jalan, ini beli beras buat 1 bulan, ini buat 10x bulak-balik naik ojek bawa anak Ibu berobat, ini buat modal ibu jualan sendiri. Ibu sekarang pulang saja… Bawa kurma ini buat pengganjal lapar…” Kata saya kemudian. Ibu itu menangis… Dia pindah dari kursi ke lantai, dia bersujud tak sepatah katapun keluar lalu dia kembalikan uang saya.

“Kalau ibu mau beli.. Beli lah kue saya. Tapi selebihnya enggak bu… Saya malu….” Jawabnya dengan suara bergetar. Saya pegang erat tangannya…

“Ibu… Ini bukan buat ibu… Tapi buat ibu saya… Saya melakukan bakti ini untuk ibu saya, agar dia merasa tidak sia-sia membesarkan dan mendidik saya… Tolong diterima…” Pinta saya penuh harap. Ibu itu masih terdiam. Lalu saya bawa keranjang jualannya. Saat itu aku memegang lengannya dan saya menyadari dia demam tinggi.

“Ibu pulang ya…” Dia cuma bercucuran airmata lalu memeluk saya.
“Bu.. Saya gak mau ke sini lagi… Saya malu…. Ibu gak doyan kue jualan saya… Ibu cuma kasihan sama saya… Saya malu…” Saya cuma bisa tersenyum.

 
“Ibu, saya doyan kue jualan Ibu, tapi saya kenyang… Sementara di luar pasti banyak yang lapar dan belum tentu punya makanan. Sekarang Ibu pulang yaa…” Jawab saya berusaha meyakinkan. Saya bimbing beliau menyeberang jalan, lalu saya naikkan angkot… Beliau terus berurai air mata. Begitu juga saya yang seperti merasa ditampar dengan keadaan yang sepatutnya harus selalu saya syukuri.

Lalu saya masuk lagi ke toko, membuka buka FB saya dan kembali membaca status orang orang berduit yang menjijikan.


The show must go on.
***

Jika Bermanfaat untuk kebaikan, silahkan share.
Sumber: ibu Ernydar Irfan

Share This !