Tan Malaka, Islam dan Komunisme
Radarislam.com ~ Di antara puluhan tokoh yang
bergelar sebagai pahlawan nasional, seberapa akrab nama seorang Tan Malaka di
telinga kita? Ah, tentunya tak lebih akrab dibandingkan dengan nama
Soekarno, Bung Hatta, dan tokoh lainnya.
Namun di kalangan pemerhati sejarah khususnya yang mengamati benar sejarah
pergerakan kiri di Indonesia, Tan Malaka adalah seorang tokoh besar. Beliau adalah
pelopor yang menyumbangkan gagasannya tentang NKRI.
Dia menuliskan buku yang berjudul “Naar de Republik Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) lebih dulu ketimbang Bung Karno dan Bung Hatta memikirkan gagasan yang serupa. Sayang sekali ketika namanya tenggelam dalam sejarah bangsa yang diperjuangkannya hingga akhir hayat. Tan Malaka bagaikan tokoh asing yang tak pernah disebutkan dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Rasanya tidak berlebihan jika Tan
Malaka disebut sebagai salah satu mutiara yang dimiliki bangsa ini. Di usianya
yang terbilang masih muda, dia telah mewakili Indonesia untuk berpidato di
Moskow dalam Kongres Komintern pada bulan November 1922. Kemudian dia ditunjuk
sebagai wakil Komintern untuk kawasan Asia Tenggara. Tan malaka adalah tokoh
yang sangat dikenal dalam komunitas komunisme internasional. Tan Malaka juga
menuliskan buku berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) demi
mencerdaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan dan penindasan. Jasanya
begitu besar untuk negara ini.
Tetapi keberadaannya seakan
dinafikkan oleh sebagian besar orang dan generasi muda di negara ini. Apakah karena
dia seorang komunis? Tidak sedikit orang yang alergi dengan kata “Komunis”
hanya karena termakan doktrin yang dijejalkan oleh Orde Baru. Komunisme seakan
lekat dengan kata PKI, pemberontakan dan kebrutalan. Benarkah demikian? Memang Tan
Malaka turut andil mendirikan Partai Komunis Indonesia atau PKI tetapi beliau
memiliki pendapat dan pemikiran yang berseberangan dengan para elite dalam
tubuh PKI. Mayoritas petinggi PKI tidak menyukai Tan Malaka sehingga beliau
mendirikan partai sendiri yang bernama pari. Jadi menyamakan Tan Malaka dengan PKI adalah
sebuah blunder sebab bisa dikatakan bahwa beliau merupakan “musuh” PKI. Beliau juga
menentang pemberontakan PKI yang dilakukan pada tahun 1926-1927.
Banyak dari kita yang berpikir
bahwa komunisme identik dengan atheis. Pemikiran
inilah yang seringkali digunakan oleh organisasi dan oknum Islam radikal
membubarkan acara yang berbau “kiri”. Seringkali
kita dengar dalam berita-berita bahwa ormas macam FPI dengan lantang
membubarkan acara bedah buku atau pemutaran film yang berkaitan dengan
komunisme. Ada juga HMI yang melakukan hal serupa ketika ada acara yang
diselenggarakan oleh belok kiri festival. Walaupun seorang komunis, benarkah
Tan Malaka seorang atheis? Jawabannya adalah
tidak. Tan bukan seorang atheis. Dia terlahir dari keluarga muslim yang taat. Di
usia muda, Tan Malaka sudah bisa menafsirkan Al Quran dan menjadi seorang guru
muda.
Beliau adalah pemuda yang
antusias mempelajari Bahasa Arab dan sejarah Islam seperti yang pernah
dikatakannya dalam buku yang berjudul Madilog
“Cangkokan bahasa Arab pada bahasa Indonesia baik
diteruskan, karena lebih cocok pada lidah kita, asal betul-betul mengadakan
pengertian baru, yang tiada terbentuk pada kata Indonesia umum atau lokal,
seperti perkataan akal, fikir dsb. Saya sendiri tiada sempat meneruskan
pelajaran bahasa Arab yang saya pelajari berpuluh tahun yang silam dengan cara
surau yang sederhana itu tentulah sekarang sudah melayang sama sekali. Tetapi semua
perhubungan dengan Islam dan Arab dahulu di Eropa, pasti mengambil perhatian saya.
Dengan mengikat pinggang lebih erat, saya ketika di Negeri Belanda membeli
sejarah dunia berjilid-jilid salinan bahasa Jerman ke Belanda, karena di
dalamnya ada sejarah Islam dan Arab dituliskan degan lebih sempurna dari yang
sudah-sudah.”(*)
Referensi: Merdeka.com, Marxist.com