Selamatan Bukan Tradisi Islam, Kenapa Tak Diberantas? Ini Penjelasannya

Hal ini memang ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Namun ada baiknya melakukan
tabayyun sebelum menjustis tradisi slametan sehingga langsung menghukuminya bid’ah, meskipun Islam tidak mengenal tradisi tersebut. Sebaiknya, telusuri terlebih dahulu tradisi itu agar
mengetahui nilai-nilai yang ada di dalamnya. Jika kita tahu makna di balik
selamatan, tentu tidak akan serta merta memvonis sesat dan bid’ah segala sesuatu.
Selamatan merupakan tradisi
ritual yang ada pada masyarakat Jawa. Selamatan juga dilakukan masyarakat Sunda
dan madura. Ini adalah bentuk syukuran yang mengundang tetangga atau kerabat. Acara
tasyakuran dimulai dengan berdoa bersama, duduk sila di atas tikar, melingkari
nasi tumpeng dengan lauk pauk yang ada di sekelilingnya.
Upacara selamatan ini
menurut Hildred Geertz biasanya dianut oleh kaum Islam Abangan. Kaum Islam
Putihan (santri) sendiri tidak menerima sepenuhnya praktik selamatan ini. Mereka
mau melakukan tetapi membuang unsur-unsur syirik seperti menyebut nama dewa
atau roh.
Geertz mengkategorikan acara
selamatan menjadi 4 jenis utama:
1. Yang berkaitan dengan
kehidupan: khitanan, kelahiran, pernikahan dan kematian.
2. Yang berkaitan dengan peristiwa
perayaan Islam
3. Acara bersih desa
(pembersihan desa)
4. Kejadian yang tidak biasa
seperti pindah rumah, berangkat untuk perjalanan panjang, mengubah nama, sembuh
dari pengaruh sihir dan penyakit, dan sebagainya.
Selamatan sudah jauh-jauh
hari ada di nusantara sebelum Islam masuk. Karena tradisi selamatan ini
memiliki nilai positif, maka Islam tidak serta merta menghapuskannya dan
menghilangkannya. Islam hanya mengemas acara ini supaya tidak terjadi
kemusyrikan.
Wali Songo sebagai pembawa
Islam di tanah air menggunakan metode dakwah ala Rasulullah yang sangat toleran
sehingga Islam bisa berkembang dengan sangat pesat sampai kita bisa
merasakannya hingga kini. Wali Songo tidak membid’ahkan kegiatan selamatan. Hanya
saja hal-hal yang berbau syirik diganti dengan niat ibadah lillahi ta’ala
meskipun model acaranya masih sama.
Islam adalah agama yang
toleran terhadap tradisi. Hadits berikut menerangkan:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ
رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ
أَحَدًا مِنْ أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا
، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم.
“Abu
Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan
berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada
agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim no. 1732).
Dengan menolak tradisi yang
telah ada, Islam hanya akan menjadi agama yang tidak toleran, membuat orang
membencinya, agama yang mempersulit. Maka tampilkanlah wajah Islam yang bisa
menerima tradisi apalagi jika tradisinya bernilai positif.
Baca Juga :
- Minum Air Tajin Tiap Hari, Inilah 8 Manfaat Sehat Yang Kamu Dapat- Setelah Menikah, Lebih Baik Tinggal Dirumah Sendiri Walapun Kontrak, Ini Alasannya