Wahai Suami, Jangan Gengsi Bilang Maaf Pada Istri, Ini Alasannya

Sudah semestinya, jika ada masalah. Maka suami atau istri
berkata “Sayang, Maafkan aku. Aku tidak bermaksud demikian.” “Aku sudah
salah mengatakan ini atau berbuat ini.”
Suami
istri memiliki peran masing-masing dalam kebahagiaan dan keberhasilan
keluarga. Tetapi saat terjadi masalah, tidak jarang mereka saling
melontarkan kata-kata yang kasar dan penuh dengan kebencian.
Kalau salah
seorang dari mereka meminta maaf kepada pasangannya, apakah ini akan
membuat dirinya hina? Jika keduanya masih gengsi untuk minta maaf maka
akan ada dua kemungkinan: rumah tangga mereka akan berlanjut tetapi
tidak harmonis dan sering berselisih atau keduanya akan saling
bercerai.
Suami
istri bisa diibaratkan sebagai kapal yang tengah berlayar dan ada
nakhoda serta awak kapal. Para awak yang ada di kapal tersebut saling
menolong dan membantu menyelamatkan kapal yang ditumpangi agar pada saat
kapal terkena badai, semuanya akan selamat dan sampai pada tujuan.
Allah
SWT menjadikan seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga yang
mengayomi dan melindungi anggota keluarganya. Dia bertanggung jawab atas
kehidupan mereka. Ini adalah amanah dan bukannya bentuk
kesewenang-wenangan suami atas istri.
Suami yang baik adalah yang mampu
memahami perasaan dan kebutuhan istrinya dan mempimpin sang istri dengan
penuh kasih sayang, serta kedewasaan. Suami seharusnya tidak mudah
marah tetapi harus tegas saat ada situasi yang membutuhkan ketegasan.
Sebagian
suami tidak memahami hal ini dan menganggap bahwa meminta maaf kepada
sang istri akan membuat dirinya menjadi hina. Dia bahkan berpikir kalau
kemuliaan suami membuatnya tidak perlu mengucapkan “Maafkan aku, akulah
yang salah. Istriku.”
Ego
dari suami itu lah yang membuat istrinya selalu berada di posisi
“bersalah”. Dia tidak pernah mau meminta maaf kepada istrinya. Ini yang
akan menyeret rumah tangga dalam kehancuran.
Terkadang, kalimat “cerai”
tidak lagi bisa dihindarkan padahal hubungan rumah tangga itu bisa
langgeng hanya dengan ucapan, “Maafkan suamimu ini, sayang.”
Ketika “Rasa Gengsi” Ikut Campur
Seorang istri pernah menceritakan tentang pengalamannya:
Dahulu,
kehidupanku bersama suamiku demikian bahagia. Akan tetapi itu semua
berubah ketika terjadi beberapa percekcokan tentang urusan rumah. Waktu
itu aku tinggal bersama di rumah mertuaku, maka aku memutuskan untuk
pindah dan keluar dari rumah mertuaku, walaupun sendirian.
Suamiku
menolak rencanaku dan menjelaskan, bahwa ia suatu hari nanti akan bisa
memiliki rumah sendiri. Dan terkadang suamiku memberi alasan tidak bisa
meninggalkan ibunya, dan lain-lain, sampai suatu hari, terjadilah
perselisihan antara aku dengan suamiku.
Aku memutuskan untuk pergi
meninggalkan rumah mertuaku dan kembali ke rumah orang tuaku, dan aku
katakan, jangan menjenguk atau menjemputku sebelum engkau memiliki rumah
sendiri. Maka, aku dan suamiku pun sama-sama bersikukuh dengan
pendirian masing-masing.
Dan
sungguh aku pun akhirnya menyesali perbuatanku. Akan tetapi aku ingin
mengetahui sejauh mana kedudukanku di sisi suamiku. Ternyata, suamiku
bersikukuh tidak mau memaafkanku dan tidak berusaha meredakan suasana.
Ia malah mengatakan, "Bertobatlah kepada Allah, dan kembalilah ke rumah
ini, jika kamu tidak mau tobat, maka cukup bagiku untuk menceraikanmu.
Demikianlah kepribadian kebanyakan suami, dan sangat sedikit yang
bersikap dewasa.
Bahkan di antara mereka ada yang sampai tidak mau
mengasihi dan menyayangi isterinya, walaupun hanya dengan satu kata yang
dicintai isterinya apalagi sampai mau memaafkan isterinya tersebut.
Seorang
istri lagi menuturkan: "Para suami kita, sangat disayangkan sekali,
mereka sangat mudah meng-ungkapkan kata-katanya kepada kita, kecuali
"ungkapan maaf", bagaimana pun keadaannya. Suamiku sangat temperamental,
tabiatnya keras dalam mempergauliku.
Ia selalu mengucapkan
ungkapan-ungkapan kasar kepadaku, bahkan ia pun pernah memukulku. Dan
aku tetap bersabar sekalipun aku dalam posisi yang benar. Tetapi suamiku
tidak mau mengubah pendiriannya sampai akhirnya aku yang meminta maaf
kepadanya, baik yang salah adalah aku ataupun sebaliknya.
Dengan
berlalunya waktu sekian tahun, sikap suamiku kepadaku bertambah jelek,
hingga memupus kesabaranku. Setelah terjadi perselisihan antara aku dan
suamiku, aku memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku. Aku menunggu,
semoga suamiku mau datang dan meminta maaf atas perilakunya selama ini
atau barangkali ia mau menelponku.
Akan tetapi ia tidak melakukan itu
semua, sampai aku mendengar tentang dirinya, ia merasa selama ini
bersalah, kini menyesal atas perbuatannya yang telah menzhalimi aku.
Akan tetapi, ia tidak mau meminta maaf kepadaku, karena keegoisan dan
kegengsiannya serta merasa menjadi hina dengan hal itu. Hingga
terjadilah cerai atas permintaanku.
Adapun
kisah Abu Khalid, ia mengatakan, "Habis sudah kehidupan ku bersama
isteriku, padahal aku men-cintainya, akan tetapi dengan sebab
ketidakharmonisan, dan aku enggan meminta maaf kepadanya, hingga
akhirnya aku menerlantarkan anak-anakku hidup tanpa ibu.
Masalahnya
adalah, bahwa isteriku adalah karyawati. Maka, aku katakan padanya
berkali-kali untuk meninggal kan pekerjaannya dan berkonsentrasi
mengurus anak-anak. Akan tetapi isteriku menolak membicarakan masalah
itu.
Dan ketika aku larang dia berangkat ke kantor, terjadilah
per-selisihan antara aku dengan dia. Dan aku terpeleset salah dalam
berkata, aku mengatainya agak lama, maka ia pun pergi pulang ke rumah
orang tuanya.
Maka, ia pun mengingatkan agar aku meminta maaf dan mengetahui kesala-hanku ketika mengatai dirinya. Akan tetapi aku menjadi sombong dan aku pun menceraikannya hanya untuk mempertahankan harga diriku sebagai laki-laki. Kini aku benar-benar menye-sal dengan penuh penyesalan.
Maka, ia pun mengingatkan agar aku meminta maaf dan mengetahui kesala-hanku ketika mengatai dirinya. Akan tetapi aku menjadi sombong dan aku pun menceraikannya hanya untuk mempertahankan harga diriku sebagai laki-laki. Kini aku benar-benar menye-sal dengan penuh penyesalan.
Terapi Jiwa Adalah Solusinya
Dr.
Najwa Ibrahim, seorang Guru besar Psikologi menjelaskan, bahwa
pendidikan dan latar belakang hidup seseorang bisa berdampak sangat
penting dalam cepatnya dia meminta maaf atau tidak. Beliau berkata, di
antara sebab-sebabnya adalah sebagai berikut:
Metode pendidikan yang telah memberi pengaruh kepadanya sehingga dia begitu sulit meminta maaf atau mengungkapkan kata "maaf" .
Diantara
metode ini adalah metode yang ditanamkan kepada kita ketika kecil dalam
meminta maaf, baik suka atau tidak. Meminta maaf dikaitkan dengan emosi
dan dari pihak yang kalah.
Pandangan
atau keyakinan yang tidak rasional yang tertanam didalam fikiran kita
dan begitu besar dampaknya adalah "bahwa laki-laki tidak boleh meminta
maaf kepada perempuan";
Anggapan, orang yang meminta maaf itu lemah kepribadiannya.
Maka,
sudah semestinya seorang suami atau isteri merasa, bahwa ketika
perilakunya menimbulkan kemarahan atau melukai perasaan pasangannya,
ungkapan "maaf" lah yang bisa menghilangkan "ketersinggungan hati dan
mencairkan ketegangan".
Meminta maaf pada saat yang tepat juga bisa
menghilangkan banyak hal yang bisa merusak hubungan suami isteri, andai
tidak segera dieliminir.
Meminta Maaf Adalah Sifat Jantan
Dr.
Muhammad Musthafa, Guru Besar psikologi dan sosiologi Univ. Malik
Su'ud, mengatakan bahwa meminta maaf adalah merupakan wujud sifat jantan
dari seorang suami atau siapapun yang berbuat salah.
Meminta maaf bukan
sifat yang dimiliki oleh orang yang lemah, sebagaimana persangkaan
sebagian orang, di mana mereka mengatakan:
Semua
orang pernah berbuat salah, namun sedikit orang yang jantan meminta
maaf dari kesalahannya kepada orang lain. Apalagi jika yang dimintai
maaf itu adalah isterinya.
Sebab, setiap suami berbeda-beda cara dan
tabiatnya. Sebagian meminta maaf dengan cara tidak langsung akan tetapi
mencapai tujuan dan sebagian meng-hindar dari masalah yang ia alami
karena demi masa depan dan kejiwaan anak-anaknya yang akan hancur bila
mereka berpisah.
Ada sebahagian suami yang berlebih-lebihan, ia menolak
meminta maaf karena gengsi dan egois, padahal para pakar psikososial
menyatakan bahwa meminta maaf bukanlah hal yang jelek.
Maka, meminta
maaf adalah sesuatu yang mesti dilakukan, dan bagi orang yang bersalah
lebih ditekankan lagi. Apabila seseorang berbuat salah, maka tidak ada
yang layak baginya selain meminta maaf.
Orang
yang bersikukuh menolak meminta maaf kepada pasangannya dengan alasan
akan mengurangi kehormatannya, maka orang yang demikian terkena penyakit
jiwa.
Sebab, diantara sifat kemuliaan adalah meminta maaf ketika
berbuat salah kepada orang lain.
Ada apa dengan sifat lelaki?
Kejantanan
seorang laki-laki akan mendorongnya untuk meminta maaf kepada istrinya
atau pada orang lain jika dia merasa berbuat salah. Jantan artinya mau
bersikap jujur dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Ketika seorang
suami meminta maaf, dia tidak akan jatuh di mata istrinya atau
kehilangan harga diri. Sama sekali tidak.
Malah itu akan mengangkat
kedudukannya di mata sang istri. Karena hal itu akan menjadi pelajaran
dalam amanah itu sendiri. Minta maaf bukanlah sebuah kelemahan. Justru
kelemahan itu adalah menyembunyikan sebuah kesalahan, bersikap sombong,
dan bersikukuh dengan pendiriannya.
Banyak
permasalahan suami istri dikarenakan kesombongan sang suami itu sendiri
dan tidak mau minta maaf kepada istrinya saat dia marah kepada istri.
Sudah seharusnya jika suami ingat, dia akan meminta maaf atas semua
kesalahannya. Dengan demikian, dia akan membantu mengembalikan suasana
harmonis dan romantis antara mereka berdua. Walaupun sifat kelelakian
suami merasa enggan untuk masalah itu.
Minta maaflah pada istrimu atas
semua kelalaian dan kesalahanmu, suami! Meski tidak secara langsung,
karena itu akan membuat rumah tangga kalian menjadi damai dan harmonis.
Aamiin.
Baca Juga:
Sumber: Majalah ad Dakwah, dengan suntingan.(Abu Muhammad)