Wahai Suami, Jangan Gengsi Bilang Maaf Pada Istri, Ini Alasannya - RadarIslam.com

Wahai Suami, Jangan Gengsi Bilang Maaf Pada Istri, Ini Alasannya

Radarislam.com ~ Dalam berumah tangga, saling memaafkan adalah kunci agar hubungan suami istri semakin langgeng. Meminta maaf merupakan bentuk kerendahan hati untuk melanggengkan sebuah rumah tangga agar selamat dari perpisahan dan kehancuran. 

Sudah semestinya, jika ada masalah. Maka suami atau istri berkata “Sayang, Maafkan aku. Aku tidak bermaksud demikian.” “Aku sudah salah mengatakan ini atau berbuat ini.” 

Suami istri memiliki peran masing-masing dalam kebahagiaan dan keberhasilan keluarga. Tetapi saat terjadi masalah, tidak jarang mereka saling melontarkan kata-kata yang kasar dan penuh dengan kebencian. 

Kalau salah seorang dari mereka meminta maaf kepada pasangannya, apakah ini akan membuat dirinya hina? Jika keduanya masih gengsi untuk minta maaf maka akan ada dua kemungkinan: rumah tangga mereka akan berlanjut tetapi tidak harmonis dan sering berselisih atau keduanya akan saling bercerai. 

Suami istri bisa diibaratkan sebagai kapal yang tengah berlayar dan ada nakhoda serta awak kapal. Para awak yang ada di kapal tersebut saling menolong dan membantu menyelamatkan kapal yang ditumpangi agar pada saat kapal terkena badai, semuanya akan selamat dan sampai pada tujuan.

Allah SWT menjadikan seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga yang mengayomi dan melindungi anggota keluarganya. Dia bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Ini adalah amanah dan bukannya bentuk kesewenang-wenangan suami atas istri. 

Suami yang baik adalah yang mampu memahami perasaan dan kebutuhan istrinya dan mempimpin sang istri dengan penuh kasih sayang, serta kedewasaan. Suami seharusnya tidak mudah marah tetapi harus tegas saat ada situasi yang membutuhkan ketegasan. 

Sebagian suami tidak memahami hal ini dan menganggap bahwa meminta maaf kepada sang istri akan membuat dirinya menjadi hina. Dia bahkan berpikir kalau kemuliaan suami membuatnya tidak perlu mengucapkan “Maafkan aku, akulah yang salah. Istriku.” 

Ego dari suami itu lah yang membuat istrinya selalu berada di posisi “bersalah”. Dia tidak pernah mau meminta maaf kepada istrinya. Ini yang akan menyeret rumah tangga dalam kehancuran.  

Terkadang, kalimat “cerai” tidak lagi bisa dihindarkan padahal hubungan rumah tangga itu bisa langgeng hanya dengan ucapan, “Maafkan suamimu ini, sayang.” 

Ketika “Rasa Gengsi” Ikut Campur 

Seorang istri pernah menceritakan tentang pengalamannya: 

Dahulu, kehidupanku bersama suamiku demikian bahagia. Akan tetapi itu semua berubah ketika terjadi beberapa percekcokan tentang urusan rumah. Waktu itu aku tinggal bersama di rumah mertuaku, maka aku memutuskan untuk pindah dan keluar dari rumah mertuaku, walaupun sendirian. 

Suamiku menolak rencanaku dan menjelaskan, bahwa ia suatu hari nanti akan bisa memiliki rumah sendiri. Dan terkadang suamiku memberi alasan tidak bisa meninggalkan ibunya, dan lain-lain, sampai suatu hari, terjadilah perselisihan antara aku dengan suamiku. 

Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah mertuaku dan kembali ke rumah orang tuaku, dan aku katakan, jangan menjenguk atau menjemputku sebelum engkau memiliki rumah sendiri. Maka, aku dan suamiku pun sama-sama bersikukuh dengan pendirian masing-masing. 

Dan sungguh aku pun akhirnya menyesali perbuatanku. Akan tetapi aku ingin mengetahui sejauh mana kedudukanku di sisi suamiku. Ternyata, suamiku bersikukuh tidak mau memaafkanku dan tidak berusaha meredakan suasana. 

Ia malah mengatakan, "Bertobatlah kepada Allah, dan kembalilah ke rumah ini, jika kamu tidak mau tobat, maka cukup bagiku untuk menceraikanmu. Demikianlah kepribadian kebanyakan suami, dan sangat sedikit yang bersikap dewasa. 

Bahkan di antara mereka ada yang sampai tidak mau mengasihi dan menyayangi isterinya, walaupun hanya dengan satu kata yang dicintai isterinya apalagi sampai mau memaafkan isterinya tersebut. 

Seorang istri lagi menuturkan: "Para suami kita, sangat disayangkan sekali, mereka sangat mudah meng-ungkapkan kata-katanya kepada kita, kecuali "ungkapan maaf", bagaimana pun keadaannya. Suamiku sangat temperamental, tabiatnya keras dalam mempergauliku. 

Ia selalu mengucapkan ungkapan-ungkapan kasar kepadaku, bahkan ia pun pernah memukulku. Dan aku tetap bersabar sekalipun aku dalam posisi yang benar. Tetapi suamiku tidak mau mengubah pendiriannya sampai akhirnya aku yang meminta maaf kepadanya, baik yang salah adalah aku ataupun sebaliknya. 

Dengan berlalunya waktu sekian tahun, sikap suamiku kepadaku bertambah jelek, hingga memupus kesabaranku. Setelah terjadi perselisihan antara aku dan suamiku, aku memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku. Aku menunggu, semoga suamiku mau datang dan meminta maaf atas perilakunya selama ini atau barangkali ia mau menelponku. 

Akan tetapi ia tidak melakukan itu semua, sampai aku mendengar tentang dirinya, ia merasa selama ini bersalah, kini menyesal atas perbuatannya yang telah menzhalimi aku. 

 Akan tetapi, ia tidak mau meminta maaf kepadaku, karena keegoisan dan kegengsiannya serta merasa menjadi hina dengan hal itu. Hingga terjadilah cerai atas permintaanku. 

Adapun kisah Abu Khalid, ia mengatakan, "Habis sudah kehidupan ku bersama isteriku, padahal aku men-cintainya, akan tetapi dengan sebab ketidakharmonisan, dan aku enggan meminta maaf kepadanya, hingga akhirnya aku menerlantarkan anak-anakku hidup tanpa ibu. 

Masalahnya adalah, bahwa isteriku adalah karyawati. Maka, aku katakan padanya berkali-kali untuk meninggal kan pekerjaannya dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Akan tetapi isteriku menolak membicarakan masalah itu. 

Dan ketika aku larang dia berangkat ke kantor, terjadilah per-selisihan antara aku dengan dia. Dan aku terpeleset salah dalam berkata, aku mengatainya agak lama, maka ia pun pergi pulang ke rumah orang tuanya.

Maka, ia pun mengingatkan agar aku meminta maaf dan mengetahui kesala-hanku ketika mengatai dirinya. Akan tetapi aku menjadi sombong dan aku pun menceraikannya hanya untuk mempertahankan harga diriku sebagai laki-laki. Kini aku benar-benar menye-sal dengan penuh penyesalan. 

Terapi Jiwa Adalah Solusinya 

Dr. Najwa Ibrahim, seorang Guru besar Psikologi menjelaskan, bahwa pendidikan dan latar belakang hidup seseorang bisa berdampak sangat penting dalam cepatnya dia meminta maaf atau tidak. Beliau berkata, di antara sebab-sebabnya adalah sebagai berikut:

Metode pendidikan yang telah memberi pengaruh kepadanya sehingga dia begitu sulit meminta maaf atau mengungkapkan kata "maaf" . 

Diantara metode ini adalah metode yang ditanamkan kepada kita ketika kecil dalam meminta maaf, baik suka atau tidak. Meminta maaf dikaitkan dengan emosi dan dari pihak yang kalah. 

Pandangan atau keyakinan yang tidak rasional yang tertanam didalam fikiran kita dan begitu besar dampaknya adalah "bahwa laki-laki tidak boleh meminta maaf kepada perempuan"; 

Anggapan, orang yang meminta maaf itu lemah kepribadiannya.

Maka, sudah semestinya seorang suami atau isteri merasa, bahwa ketika perilakunya menimbulkan kemarahan atau melukai perasaan pasangannya, ungkapan "maaf" lah yang bisa menghilangkan "ketersinggungan hati dan mencairkan ketegangan". 

Meminta maaf pada saat yang tepat juga bisa menghilangkan banyak hal yang bisa merusak hubungan suami isteri, andai tidak segera dieliminir. 

Meminta Maaf Adalah Sifat Jantan 

Dr. Muhammad Musthafa, Guru Besar psikologi dan sosiologi Univ. Malik Su'ud, mengatakan bahwa meminta maaf adalah merupakan wujud sifat jantan dari seorang suami atau siapapun yang berbuat salah. 

Meminta maaf bukan sifat yang dimiliki oleh orang yang lemah, sebagaimana persangkaan sebagian orang, di mana mereka mengatakan: 

Semua orang pernah berbuat salah, namun sedikit orang yang jantan meminta maaf dari kesalahannya kepada orang lain. Apalagi jika yang dimintai maaf itu adalah isterinya. 

Sebab, setiap suami berbeda-beda cara dan tabiatnya. Sebagian meminta maaf dengan cara tidak langsung akan tetapi mencapai tujuan dan sebagian meng-hindar dari masalah yang ia alami karena demi masa depan dan kejiwaan anak-anaknya yang akan hancur bila mereka berpisah. 

Ada sebahagian suami yang berlebih-lebihan, ia menolak meminta maaf karena gengsi dan egois, padahal para pakar psikososial menyatakan bahwa meminta maaf bukanlah hal yang jelek. 

Maka, meminta maaf adalah sesuatu yang mesti dilakukan, dan bagi orang yang bersalah lebih ditekankan lagi. Apabila seseorang berbuat salah, maka tidak ada yang layak baginya selain meminta maaf. 

Orang yang bersikukuh menolak meminta maaf kepada pasangannya dengan alasan akan mengurangi kehormatannya, maka orang yang demikian terkena penyakit jiwa. 

Sebab, diantara sifat kemuliaan adalah meminta maaf ketika berbuat salah kepada orang lain.

Ada apa dengan sifat lelaki?

Kejantanan seorang laki-laki akan mendorongnya untuk meminta maaf kepada istrinya atau pada orang lain jika dia merasa berbuat salah. Jantan artinya mau bersikap jujur dan memiliki budi pekerti yang luhur. 

Ketika seorang suami meminta maaf, dia tidak akan jatuh di mata istrinya atau kehilangan harga diri.  Sama sekali tidak. 

Malah itu akan mengangkat kedudukannya di mata sang istri. Karena hal itu akan menjadi pelajaran dalam amanah itu sendiri. Minta maaf bukanlah sebuah kelemahan. Justru kelemahan itu adalah menyembunyikan sebuah kesalahan, bersikap sombong, dan bersikukuh dengan pendiriannya.

Banyak permasalahan suami istri dikarenakan kesombongan sang suami itu sendiri dan tidak mau minta maaf kepada istrinya saat dia marah kepada istri. 

 Sudah seharusnya jika suami ingat, dia akan meminta maaf atas semua kesalahannya. Dengan demikian, dia akan membantu mengembalikan suasana harmonis dan romantis antara mereka berdua. Walaupun sifat kelelakian suami merasa enggan untuk masalah itu. 

Minta maaflah pada istrimu atas semua kelalaian dan kesalahanmu, suami! Meski tidak secara langsung, karena itu akan membuat rumah tangga kalian menjadi damai dan harmonis. Aamiin.

Sumber: 
Majalah ad Dakwah, dengan suntingan.(Abu Muhammad)

Share This !