Belajarlah dari Kisah Shafraan, jangan Biarkan Anak Kecanduan Gadget jika Tak ingin ini terjadi
Jangan
biarkan anak kecanduan gadget, Radarislam.com ~ Gadget
kini sudah banyak membius anak-anak di masa pertumbuhannya.
Ya, di masa tumbuh kembang perkembangan otak anak, mereka justru menghabiskan waktu dengan bermain gadget.
Akibatnya interaksi mereka
dengan orang-orang sekitar pun menjadi berkurang.
Seperti postingan di jagat maya dari seorang ibu yang menyebut dirinya sebagai Ummu
Shafraan.
Ia membagikan pengalaman anaknya, Shafraan, yang kecanduan main
gadget.
Dengan berbagai upayaa, akhirnya si ibu berhasil membebaskan Shafraan
dari kecanduan main gadget.
Postingan yang ditulis di Manado pada 4 Agustus beberapa tahun lalu,
langsung menjadi viral sebab persoalan ini rupanya juga banyak dialami oleh keluarga
di Indonesia.
Permasalahan yang sama dengan banyak orang tua yang khawatir dan
bingung bagaimana anak-anak mereka bisa lepas dari kecanduan gadget.
Berikut
ini curahan hati Ummu Shafraan:
“Awal
perkenalan dengan gadget pas Shafraan umur 10 bulan.
Awalnya terbiasa liat
kakak kakaknya main game di tab.
Dari sekedar jadi penonton lama kelamaan dia
jadi tertarik untuk mencoba.
Seiring
bertambahnya usia, gadget merupakan barang yang tidak bisa terpisahkan dalam
kesehariannya.
Bermain berbagai jenis game bisa sampai berjam-jam bahkan game
bagaikan lagu nina bobo buat dia.
Pokoknya main game dulu baru bisa tidur.Dan
itu berlangsung setiap hari.
Awalnya
saya membiarkan. Saya memberikan. Saya memfasilitasi.
Karena bagi saya gadget
adalah senjata ampuh saya untuk menenangkan dia.
Saat dia marah dan menangis
saya pasti akan membujuknya dengan bermain game.
Dan memang dia akan langsung
tenang.
Di
umurnya yang ke-2 tahun sebenarnya saya sudah melihat tanda tanda ke’kaku’an
dari caranya berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Contohnya saja
bagaimana dia merespons permainan manual (mobil-mobilan, pesawat, dan jenis
permainan lain yang dia punya).
Pernah
sekali saya mendapati dia hanya memegang mobil-mobilannya sambil diam saja.
Tidak ada gerakan layaknya seorang anak laki-laki yang diberi mobil-mobilan
yang pasti sudah memainkannya sambil meniru suara mobil.
Dia kebingungan tebak
saya.
Karena selama ini dia hanya terbiasa menggerakkan jari-jarinya mengikuti
alur permainan dari dalam gadgetnya.
Keanehan
lainnya dan yang paling mengkhawatirkan adalah kurangnya kosakata yang bisa dia
ucapkan.
Padahal anak-anak seumuran dia seharusnya sudah bisa berbicara dengan
kosakata yg lebih variatif.
Dalam
hati, saya sudah waswas…khawatir dengan perkembangan anak lelaki semata wayang
saya.
Sempat konsultasi dengan dokter anak mengenai adakah hubungan antara
riwayat alergi tinggi yang di derita Shafraan dengan kondisinya ini.
Dan
jawabannya adalah tidak ada.
Kemungkinan besar pengaruhnya adalah kurangnya
interaksi dari orangtua dan anggota keluarga yang kurang berkomunikasi atau
menstimulasi Shafraan agar memperbanyak kosakatanya.
Dan
hati kecil saya berbisik, gadget-lah penyebabnya.
Sejak saat itu saya mulai
membatasi penggunaan gadget di rumah.
Seringkali saya mesti kewalahan
menghadapi tantrumnya Shafraan karena saya berkeras tidak memberikan gadget ke
dia.
Dia
ngamuk, nangis, melempar semua barang ke arah saya dan siapa saja yg ada di
dekatnya, termasuk kakak-kakaknya.
Dia susah makan, susah tidur dan rewel.
Sangat rewel. Itu berlangsung sekitar 3 hari.
Dan pada akhirnya kasihan.
Itulah
alasan akhirnya saya memberikan lagi gadget ke dia. Dan keadaan rumah jadi
tenang kembali.
Puncaknya
sekitar 2 bulan yang lalu saya ke RS buat imunisasi si debay Raisha.
Ketemu
sama dokter di bagian tumbuh kembang anak yang komunikatif sekali.
Semua
permasalahan kami konsultasikan termasuk bertanya tentang kondisi Shafraan.
Akhirnya dokter coba mengetes motorik halusnya.
Dan hasilnya semua stimulator
bisa Shafraan buat dan pertanyaan dari dokter bisa dia jawab walaupun
kata-katanya belum terlalu jelas.
Alhamdulillah
berarti Shafraan normal-normal saja.
Mungkin hanya masalah waktu saja sampai
dia bisa bicara dengan jelas karena setahu saya anak laki-laki memang agak
lambat soal masalah bicara dibanding anak perempuan. Begitu pikir saya.
Tapi
ternyata dokter punya diagnosa lain.
Menurut dokter, Shafraan sekarang dalam
kondisi speech delay atau keterlambatan bicara.
Tidak tanggung-tanggung
perkembangan bicara Shafraan terlambat 1 tahun dari umurnya yang sudah 3 tahun
4 bulan waktu itu.
Speech
delay adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan
pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai
keterlambatan aspek perkembangan lainnya.
Pada
umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang
normal.
Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5 sampai 10%
anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki
daripada perempuan.
Dokter menganjurkan agar Shafraan ikut Terapi
Okupasi/Sensori Integrasi untuk menstimulasi kemampuan bahasa dan kosakatanya.
Setelah itu, baru dilanjutkan ke Terapi Wicara.
Ya
Allah, pernyataan dari dokter itu bagaikan guntur di siang bolong.
Baru saya
sadar sayalah penyebab Shafraan jadi begini.
Saya tidak mau direpotkan dengan
suara tangisan atau rengekannya.
Saya tidak mau melihat rumah berantakan karena
mainannya.
Saya tidak mau repot. Saya tidak mau capek. Saya EGOIS. Itulah
kesalahan terbesar saya sebagai seorang ibu.
Dan,
baru sekarang mata saya terbuka lebar tentang kondisi anak saya.
Bagaimana bisa
saya tidak peduli pada hal ini selama bertahun-tahun?
Bagaimana bisa saya
menyia-nyiakan masa-masa emas pertumbuhannya dengan menyibukkannya dengan
gadget yang jelas-jelas tidak ada gunanya selain kesenangan sementara?
Menyesal,
sangat menyesal.
Seandainya waktu bisa diulang kembali pasti saya tidak akan
melewatkan kesempatan untuk mengajarkan dia berbicara.
Namun nasi sudah menjadi
bubur. Penyesalan pun tiada guna.
Satu yang pasti adalah bagaimana cara
memperbaiki kondisi anak saya.
Setelah
berdiskusi dengan suami kami sepakat bahwa kami tidak akan mengikutsertkan
Shafraan dalam terapi itu.
Kenapa?
Karena kami percaya bahwa anak kami bisa dan
akan bisa berbicara seperti anak-anak sebayanya.
Dan karena ini adalah
sepenuhnya kesalahan kami sebagai orangtua khususnya saya sebagai ibunya, maka
kamilah yang akan bertanggungjawab sepenuhnya tanpa campur tangan oranglain.
Sejak
hari itu penggunaan gadget ditiadakan. Awalnya dia nangis sambil minta tab tapi
dengan tegas saya bilang tab rusak.
Besoknya dia minta lagi.
Tetap saya bilang
rusak.
Selama kurang lebih seminggu dia masih sering meminta.
Tapi
alhamdulillah akhirnya dia mulai lupa dengan rutinitasnya yang dulu dan mulai
membuat kegiatan baru.
Entah
itu lari-lari kecil di dalam rumah, menyusun mobil-mobilan, main pesawat,
memanjat tempat jemuran baju saya, membongkar laci buku kakak-kakaknya, ngambil
buku dan pensil trus mulai mencorat coret.
Bosan dengan buku pindahlah dia
corat coret ke dinding.
Hasilnya?
Rumah tidak pernah bisa rapi. Mainan berantakan.
Tapi ada kemajuan pesat pada
diri Shafraan.
Pembendaharaan katanya sudah lebih banyak. Bahkan sekarang dia
sudah bisa bicara membentuk kalimat.
Walaupun masih belum terlalu jelas tapi
saya sudah sangat bersyukur dengan keadaannya sekarang.
Ini
adalah pelajaran bagi saya sebagai orangtua.
Kita sayang sama anak…orangtua
mana yg tidak?
Tapi
orangtua pun harus lebih cermat memilah mana yg bisa dan tidak sepatutnya
diberikan kepada anak.
Jangan sampai karena pola asuh kita bisa berdampak buruk
bagi masa depan mereka.
Saya
tidak melarang atau menghakimi orangtua yang masih memberikan gadget kepada anak-anaknya.
Saya hanya berbagi pengalaman saja. Jangan sampai apa yang terjadi pada
Shafraan terjadi pada anak-anak lain.
Save our children from gadget.
Biarkan
mereka menikmati golden age mereka dengan cara alami karena belum waktunya
mereka bersentuhan dengan canggihnya teknologi”.
Hal ini menjadi pelajaran bagi orang tua yang memberikan
gadget anaknya sedini mungkin.
Apalagi saat usia golden age yakni 0-5 tahun yang
menentukan perkembangan mereka.
Untuk itu dibutuhkan stimulus untuk pertumbuhan
motorik, kognitif, dan interaksi mereka.
Disinilah peran orang tua agar mereka bisa tumbuh
layaknya anak-anak lain. Biarkan mereka berkembang tanpa gadget.
Arahkan pada
minat dan kesukaan mereka selain gadget. Semoga bermanfaat. [RI/ Wb]