Saat Gus Dur Berdebat Membela Islam yang Damai di Melbourne
Gus
Dur debat islam damai di Melbourne, Radarislam.com ~ Ada
kisah menarik yang memperlihatkan sisi intelektual Presiden keempat RI
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, terutama pandangannya mengenai Islam yang
damai.
Kisah ini terjadi pada 1995, saat itu Gus Dur mengikuti
sebuah konferensi bertajuk "Islam, Modernitas, dan Globalisasi", yang
digelar Deakin University, Melbourne, Australia.
Peserta yang hadir forum tersebut pun tidak menyangka
akan menyaksikan perdebatan menarik antara Gus Dur dengan seorang Muslim asal
Pakistan. Perdebatannya mengarah pada dua sisi Islam. Sisi yang satu merupakan
pemikiran Islam sebagai instrumen etika dan perdamaian.
Adapun sisi yang lain merupakan pemahaman Islam yang
lebih radikal, yang dilatarbelakangi kondisi umat Islam yang mengalami perang
dan penjajahan fisik. Kisah perdebatan Gus Dur dengan orang Pakistan itu
ditulis oleh Andree Feillard dalam buku Gila Gus Dur (2010), yang diterbitkan
oleh penerbit LKIS.
Ceritanya, dalam konfrensi tersebut, seorang warga negara
Pakistan dari Universitas Terbuka Leicester di Inggris, Asaf Hussain,
membacakan makalah berjudul "The Islamic Resistance between Modernism and
Postmodernism".
Makalah itu membahas tentang pembenaran perjuangan dengan
kekerasan oleh kelompok Hizbullah di Lebanon. Garis besar argumennya, pada
dasarnya, nasionalisme Islam atau negara kebangsaan (nation state) dalam Islam
adalah salah.
Semula, menurut Hussain, negara Islam berbentuk
kekhalifahan, kemudian menjadi kesultanan, dan kemudian menjadi negara kolonial,
hingga kemudian menjadi negara kebangsaan (nation state).
Bagi Hussain, nation state adalah pengaruh dari pemikiran
Barat atau westernisasi yang terjadi di negara-negara jajahan. Menurut dia,
orang-orang Islam yang sekuler, bukanlah Muslim sejati.
Mereka harus "memilih antara pemikiran Islam dan
pemikiran modern". Bagi dia, tradisi lokal dan budaya setempat juga
menjadi hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Andree Feillard dalam
tulisannya menginterpretasi tradisi lokal dan budaya setempat itu sebagai
"tradisi Indonesia" atau tradisi Nusantara.
Para intelektual Indonesia yang hadir saat itu tidak
segera memperlihatkan bantahan atau menanggapi pernyataan Hussain. Seorang
peneliti Australia yang semula tertarik dengan cara penyampaian gagasan
Hussain, kemudian berdiri dan bertanya kepada Hussain.
"Dalam pertarungan Anda melawan Barat, apakah Anda
bersedia bekerja sama dengan kelompok Barat non Muslim?”.
Hussain menjawabnya dengan lantang. "Tidak!".
Bagi Asaf Hussain, pemikiran Islam yang berkembang secara
radikal, terutama di wilayah konflik, menganggap kelompok Barat dinarasikan
sebagai pihak yang berlawanan. Akademisi Australia yang sebelumnya tertawa
karena cara penyampaian Hussain yang menarik itu, kemudian terdiam.
Tidak lama kemudian, tanpa basa-basi Gus Dur mengambil
mikrofon di tempat duduknya dan berbicara lantang. Gus Dur mengemukakan
pendapatnya secara berani dan sederhana.
"Islam sendiri tidak menganjurkan orang untuk
berperang. Manusia lah yang berperang tanpa alasan agama. Saya memegang prinsip
Gandhi, tanpa kekerasan," ucap Gus Dur.
Gus Dur melanjutkan, "Dalam waktu yang sangat lama,
masing-masing masyarakat Muslim hidup dengan prinsip persaudaraan, keadilan,
dan demokrasi."
Menurut Gus Dur, "Orang Islam sebaiknya tidak
menghakimi orang Islam yang lain. Anjuran ini juga berlaku bagi bangsa-bangsa
Muslim."
Asaf Hussain kemudian terdiam, tidak berkata sepatah kata
pun.
Cendekiawan Muslim Indonesia lain, Nurcholish Madjid,
juga membela Islam Indonesia yang mengedepankan perdamaian. Cak Nur, demikian
dia disapa, tidak mempermasalahkan adanya perbedaan dalam bekerja sama, serta
menganjurkan sikap ”inklusif” untuk menghindari perpecahan.
Dia berbicara mengenai orang Kristen Indonesia yang
sebaiknya ditempatkan sebagai warga negara yang sama dengan yang lain, bukan
ditempatkan sebagai pihak yang berbeda.
Nurcholish mengecam mudahnya seseorang dalam mengeluarkan
retorika, terutama yang merendahkan kelompok lain. Konferensi tersebut kemudian
ditutup oleh seseorang yang disebut Feillard berasal dari Turki, yang menilai
Gus Dur dan Cak Nur sebagai pihak yang diutus oleh Pemerintah Indonesia.
"Kita berharap orang-orang Indonesia yang diundang
bukan juru bicara pemerintah," ucapnya.
Namun, orang Turki itu tidak tahu bahwa Nurcholish Madjid
tidak pernah menjadi juru bicara Pemerintahan Presiden Soeharto.
Dia juga tidak tahu bahwa Gus Dur waktu itu memimpin
Forum Demokrasi yang kelak menjadi pelopor reformasi, yang mengakhiri
kepemimpinan Soeharto. [Radarislam/ Kmp]