Ini Dia Jenderal di Balik Pembantaian Rohingya
Jenderal
di balik pembantaian Rohingya, Radarislam.com ~ Hanya
satu orang yang dapat memerintahkan tentara untuk berhenti membunuhi
orang-orang Rohingya dan membakari desa-desa mereka: Jenderal Senior Min Aung
Hlaing, Komandan Militer Myanmar.
Jenderal nomor satu Myanmar itu tak mengakui keberadaan
Rohingya. Baginya, Rohingya adalah imigran ilegal. Dan demikianlah status
Rohingya di Myanmar: orang-orang buangan tanpa kewarganegaraan, pun meski telah
tinggal turun-temurun di negeri itu.
“Jenderal Min Aung Hlaing adalah orang yang memberi perintah
untuk membunuh Rohingya. Aung San Suu Kyi mungkin ‘monster’, tapi tak ada
apa-apanya dibanding dia,” kata Kyaw Win, Direktur Burma Human Rights Network,
Kamis (31/8).
Secara de facto, Suu Kyi memang pemimpin Myanmar. Meski
Undang-Undang Myanmar tak memperbolehkan dia menjabat sebagai presiden karena
suaminya berkewarganegaraan asing--Inggris, ia memegang sederet posisi
strategis: Menteri Luar Negeri, Menteri Kantor Presiden, Menteri Tenaga Listrik
dan Energi, serta Menteri Pendidikan.
Suu Kyi ialah Penasihat Negara Myanmar, yang sesungguhnya
mengendalikan presiden negeri itu, Htin Kyaw--yang naik ke tampuk pimpinan atas
restu dia dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for
Democracy; NLD) yang memenangi pemilu.
Namun dengan berbagai jabatan “mentereng” itu, bukan
berarti Suu Kyi bisa menggenggam seisi negeri, sebab parlemen dikuasai oleh
militer, di bawah Komandan Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Kamis kemarin, (31/8), pegiat kemanusiaan mendesak
komunitas internasional untuk memfokuskan tekanan pada sang Jenderal--sosok di
balik pembantaian Rohingya.
“Hanya dia yang dapat menghentikan pembunuhan terhadap
orang-orang Rohingya, dan sejak tentaranya memulai serangan baru akhir bulan
ini, ia bahkan tidak menghadapi kritik atau tekanan langsung dari komunitas
internasional,” kata Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign Inggris, seperti
dilansir situs resmi lembaganya, Burma Campaign UK.
Militer Myanmar yang mengawali operasi perburuan militan
Rohingya sebagai respons atas penyerangan kelompok pemberontak ARSA (Arakan
Rohingya Salvation Army)--yang disebut pemerintah Myanmar teroris--terhadap 30
pos polisi dan sebuah pangkalan militer di Rakhine, negara bagian Myanmar yang
menjadi tempat tinggal Rohingya, nyatanya menarget rakyat sipil Rohingya tak
pandang bulu.
Lelaki-perempuan, tua-muda, sepuh-bayi, semua jadi korban
kebrutalan tentara Myanmar. Mereka ditembaki tanpa ampun, menjadikan operasi
perburuan pemberontak menjelma genosida--pembunuhan besar-besaran secara
terencana terhadap suatu bangsa atau ras.
Meski jumlah korban sulit diperkirakan akibat penutupan
akses media dan pengawas internasional menuju Rakhine, namun berdasarkan data
berbagai sumber terpercaya yang dikumpulkan dari lapangan, Burma Campaign UK
meyakini korban tewas mencapai ratusan orang, bahkan mungkin seribu lebih.
Sementara lebih dari 10.000 rumah ditaksir telah hancur
bahkan rata dengan tanah. Kini, laporan-laporan baru yang masuk juga mulai
menyebut munculnya aksi pemerkosaan, penyiksaan, dan berbagai pelanggaran hak
asasi manusia lainnya.
Serangan militer Myanmar terhadap Rohingya kali ini
dinilai serupa dengan yang pernah mereka lakukan pada Oktober 2016, namun
dengan skala lebih besar dan koordinasi lebih terpadu untuk menghancurkan semua
struktur masyarakat Rohingya.
Aksi militer Myanmar pada Oktober 2016 itu mengusik
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian menyimpulkan kejahatan terhadap
kemanusiaan telah berpotensi terjadi, sehingga Dewan HAM PBB membentuk Misi
Pencari Fakta untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi di Rakhine, juga
Shan dan Kachin di mana militer juga menjadikan etnis sipil sebagai target. [Radarislam/
Kc]